Melukis Seribu Gunung | Chapter 2

Bulan musim semi perlahan terbit dari balik hutan bunga di tepi air ungu yang berembun, memantulkan bayang pucatnya di permukaan air, seperti giok tenggelam yang bersinar lembut, kabut bulan menari samar bagai asap perak.

Parit istana, yang airnya menyapu riasan yang dicuci para dayang menjelang senja, mengalir pelan, setengah jernih setengah keruh, membelah bayang bangunan istana yang menjulang tak berujung, lalu melebur di antara aliran gelap di hutan bunga, menebarkan wangi yang merembes ke seluruh rimbunnya.

Bayang bulan di kolam perlahan berubah menjadi wajah seorang wanita berkebaya istana.

Kecantikannya bahkan lebih terang daripada bulan itu sendiri.

Diiringi hembusan angin lembut yang berbisik di antara pepohonan, sebuah suara muncul dari entah berapa dalam dan gelapnya suatu tempat.

Awalnya samar, tak jelas—bagai musik surgawi yang melayang di antara paviliun giok dan menara laut, atau seperti helaan napas, keluhan dan bisikan yang terhembus dari antara sepasang bibir.

Suara itu melayang bersama angin malam, menembus berlapis-lapis bangunan istana, naik melewati tembok batu, menyebrangi parit kekaisaran, terseret menuju permukaan kolam—hingga akhirnya, suara itu jatuh di telinga Xuyu.

Jangan kembali.

Jangan kembali.

Jangan kembali.

Xuyu terjaga oleh bisikan manis itu. Ia tetap berbaring diam dalam gelap, sampai kesadarannya benar-benar tercerabut dari mimpi taman bunga di taman kekaisaran. Baru ketika gema suara perempuan dalam mimpi itu benar-benar memudar, ia perlahan membuka mata dan menoleh, memandang bayangan bulan di luar jendela—terhanyut dalam pikirannya sendiri.

Sudah dua atau tiga hari sejak ia tiba di sini.
Ketika terbangun di tengah malam seperti ini, ia masih sering merasa seolah dirinya masih berada di sisi kakeknya.

Sang bupati memperlakukannya dengan sangat baik.
Seakan Xuyu masih anak kecil—ia selalu khawatir, selalu memperhatikan segala hal, takut Xuyu sedikit saja merasa tidak nyaman.

Dayang yang pandai menata rambutnya bernama Zhu’er.
Walaupun ia agak takut pada Nyonya He, namun di luar pengawasan perempuan itu, ia lincah, banyak bicara—dan hanya dalam sehari, ia sudah akrab dengan Xuyu.

Zhu’er juga mengatakan bahwa ia pun baru tiba belum lama ini.
Menurutnya, kehidupan Pei Ji sangat sederhana.
Di kediaman bupati sebesar ini, pelayan di dalam dan luar rumah tidak sampai sepuluh orang—semuanya hanya pegawai yang benar-benar diperlukan. Zhu’er sendiri, dibeli khusus karena Xuyu datang.

Selain itu, tampaknya di tempat ini hanya ada dua tuan rumah: Sang bupati, dan Tuan Pei.
Kedatangan Xuyu membuat mereka juga secara khusus membeli perhiasan, kosmetik, dan barang-barang gadis muda dari para pedagang Hu yang lewat.

Dan selain semua itu—Xuyu menemukan bahwa di tempat tinggalnya ada ruangan khusus untuk melukis.
Silk, kertas, kuas ukuran besar hingga kecil, pigmen cinnabar, nila, orpiment, bahkan talc dan jelaga pinus yang jarang dipakai—semuanya lengkap.
Jelas semua ini dipersiapkan dengan teliti.

Semua itu membuat Xuyu terkejut tak habis pikir.

Dalam beberapa hari sejak ia tiba, Xuyu sudah beberapa kali mencoba mencari kesempatan untuk menyampaikan isi hatinya.

Namun setiap kali ia membuka mulut, tidak ada kata yang bisa keluar.

Ia bukan gadis yang tidak tahu berterima kasih.

Tiga tahun lalu, ia jatuh sakit setelah kehujanan dan sempat koma.
Hari-hari berlalu sebelum ia pulih kembali.
Setelah sembuh, beberapa kenangan yang dulu seperti kabut samar—yang selama bertahun-tahun hanya seperti bayangan di pikirannya—perlahan mulai menjadi jelas.

Namun ia masih belum bisa benar-benar memastikan.

Setelah itu, ia mulai mengalami mimpi-mimpi seperti ini.
Malam ini, ia kembali terbangun dari mimpi yang telah muncul berkali-kali.

Di sekelilingnya sunyi.
Namun pikirannya semakin menumpuk, bersilangan satu sama lain.

Tiba-tiba, dari arah halaman depan terdengar suara samar. Seperti ada seseorang yang kembali larut malam dan membuat para pelayan terkejut.

Xuyu tahu,siapa yang datang.

Siang tadi, Zhu’er juga bilang, tuan muda di kediaman ini, bernama Pei Xiaoyuan, akan segera kembali.

Tengah malam.

Tengah malam itu, para penjaga kota dikejutkan oleh derap kaki kuda yang bergemuruh dari kejauhan.
Mereka segera naik ke atas tembok kota untuk mengintip.

Sejumlah besar orang dan kuda tengah melaju menuju gerbang.
Suara tapak kuda seperti guntur musim panas yang tiba-tiba datang menyerbu—dan dalam sekejap menghantam tepat di hadapan mereka.

Suara ringkikan kuda, cambuk yang melayang, denting pedang dan busur para penunggang—diselingi teriakan anak-anak Hu—semuanya menyerbu gerbang kota seperti gelombang pasang yang menggulung.

Angin malam menyingkap awan gelap di langit.
Cahaya bulan menembus celah-celahnya, memandikan rombongan yang pulang dalam sinar perak.

Di paling depan, ada dua ekor kuda tinggi dan gagah dikelilingi oleh banyak orang.
Kedua lelaki muda yang menungganginya mengenakan pakaian serupa: jubah kerah bulat yang rapi, mantel penahan angin, sabuk yang tergantung pisau, pedang, dan tabung anak panah.

Saat mereka mendekati gerbang kota, keduanya menarik tali kekang dan menghentikan kuda mereka.
Salah seorang pemuda menunjuk ke depan sambil berkata sesuatu kepada temannya.
Pemuda yang satu lagi mengangguk pelan—lalu menoleh ke arah atas tembok kota.

Wajah itu adalah wajah seorang pemuda tampan.
Cahaya bulan di atas kepalanya menyatu dengan kelam malam, memantulkan sorot mata yang dingin—seperti membawa pantulan cahaya bulan itu sendiri.

Para penjaga kota langsung mengenalinya.
Ia bukan orang lain—ia adalah Pei Xiaoyuan, Kapten Kavaleri Awan, yang sudah lama pergi.

Mereka segera memerintahkan untuk membuka gerbang dan menyambutnya masuk.

ei Xiaoyuan sebenarnya baru kemarin bertemu dengan He Jin yang datang menjemputnya di tengah perjalanan.
Dari sana, ia tahu bahwa pamannya, Pei Ji, memiliki urusan mendesak yang ingin dibicarakan dengannya.

Ia bertanya apa gerangan, namun He Jin tidak bisa menjelaskan dengan jelas—ia hanya mengatakan bahwa bupati tampak sangat cemas.
Karena takut menunda urusan penting, Pei Xiaoyuan hanya memberi instruksi singkat kepada Chengping, lalu mempercepat perjalanan.
Akhirnya, ia tiba malam ini, di bawah cahaya bulan.

Karena kali ini Chengping akan ikut ke ibu kota, ia membawa banyak barang upeti, termasuk dua ratus ekor kuda.
Ditambah para pejabat pengiring, para pengawal, dan para pelayan—jumlahnya mencapai ratusan orang.
Seluruh orang dan rombongan kereta itu kini berhenti di luar gerbang kota, menimbulkan hiruk-pikuk yang cukup besar.

Untungnya, mereka sebelumnya telah mendapat kabar, sehingga segala persiapan sudah ada, dan para pengiring dapat segera ditangani.

Sebenarnya, Pei Xiaoyuan ingin mengatur agar Chengping tinggal di wisma penginapan resmi yang memang sudah disiapkan untuknya bersama para pejabat pengiring.
Namun Chengping menolak.
Baru saja di depan gerbang kota tadi, ia mengatakan bahwa tinggal di penginapan terlalu membosankan—ia ingin tinggal bersama Pei Xiaoyuan di kediaman bupati.

Dulu, ketika mereka ikut perang melawan Xifan beberapa tahun lalu, mereka pernah minum dari kendi yang sama dan tidur di tenda yang sama.
Sekarang hanya tinggal di rumah yang sama—tentu Pei Xiaoyuan tidak mempermasalahkan dan membawanya ke rumah besar tersebut.
Pei Ji pun sudah menerima kabar, dan datang menyambutnya sendiri.

Watak Chengping itu keras dan liar, namun di hadapan Pei Ji—seorang pejabat besar yang terkenal di istana—ia tidak berani bersikap semena-mena.
Lagi pula, ia pernah dikirim ke ibu kota sebagai “sandera perdamaian” sejak kecil, dan telah tinggal bertahun-tahun di sana, sehingga ia pun sudah mengenal adat Han.

Ketika bertemu Pei Ji, ia bersikap penuh hormat, menyatakan ia hanyalah kenalan dan junior yang sungguh takut mengganggu, sehingga ingin tinggal di rumah penginapan.
Tetapi karena Pei Erlang mengundangnya tinggal bersama, ia tidak dapat menolak—dan hanya bisa menerima.

Pei Xiaoyuan menatapnya sejenak.
Namun Chengping sendiri memandang Pei Ji dengan khidmat tanpa berkedip.

Pei Ji tentu saja mengiyakan, dan memerintahkan pelayan untuk membawa sang tamu beristirahat.

Setelah Chengping pergi sambil tersenyum, Pei Xiaoyuan menjelaskan:

“Aku tidak tahu kalau Paman ada urusan di sini. Aku dan Chengping banyak berhenti dalam perjalanan pulang, jadi terlambat. Kalau tidak, seharusnya aku sudah kembali setengah bulan yang lalu.”

Pei Ji mengatakan tidak apa-apa.
Di bawah cahaya lampu, ia melihat keponakannya tampak amat letih, dan sekarang pun sudah lewat tengah malam. Maka ia menyuruh Xiaoyuan untuk beristirahat juga.

Namun Pei Xiaoyuan tidak bergerak.

“Paman He berkata Paman ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganku. Perkara ini penting. Aku tidak lelah.”

Pei Ji pun membawanya masuk ke ruang kerja, lalu menutup pintu.
Namun ia hanya menatap pemuda yang berdiri di hadapannya—tanpa sepatah kata pun.

Awalnya, Pei Xiaoyuan menduga ada situasi militer mendadak.
Namun setelah melihat sendiri sikap sang paman, jelas bukan itu masalahnya.
Setelah ditatap lama seperti itu, ia tidak bisa tidak bertanya lagi:

“Paman, kalau memang ada sesuatu, mohon katakanlah.”

Pei Ji kembali teringat masa lampau karena melihat keponakannya.

Kekacauan itu menghancurkan separuh negeri, tak terhitung nyawa manusia yang hilang.
Ia sendiri kehilangan saudara dan anak laki-laki.
Rasa sakit yang menggerogoti sampai ke tulang itu masih sulit mereda meski bertahun-tahun telah berlalu.

Namun setidaknya masih ada satu hal yang bisa menghiburkan hati:
keponakannya akhirnya telah tumbuh dewasa.
Jika ia menikah kelak, mungkin hatinya bisa sedikit tenang.

“Xiaoyuan, kau tahu nama Ye Zhongli dari masa kaisar sebelumnya?” akhirnya ia membuka mulut.

Ye Zhongli adalah pelukis istana pada masa pemerintahan kaisar sebelumnya, beberapa puluh tahun lalu.
Konon ia berasal dari keluarga biasa.
Saat muda, ia berkelana hanya dengan membawa kuas dan sebilah pedang panjang.
Pada akhirnya, ia memadukan teknik bela diri dengan teknik melukisnya, sehingga namanya tersohor dalam lukisan pemandangan, potret, Buddhisme dan Taoisme.

Kaisar waktu itu, setelah mendengar ketenarannya, memanggilnya ke istana dan memberinya jabatan.
Siapa pada masa itu yang tinggal di ibukota dan tidak tahu namanya?
Banyak kuil Tao dan vihara Buddha merasa bangga bisa mengundangnya melukis mural.
Tempat-tempat yang dihias oleh lukisan para dewa dan Buddha yang ia buat akan langsung memperoleh ketenaran, menarik ribuan peziarah, dan dupa pun membumbung tak putus.

Karya paling terkenalnya adalah gulungan panjang “Dewata dan Ibukota”, yang diperintahkan untuk ia lukis di Aula Yong’an, Istana Wansui, tiga puluh tahun silam.

Konon demi mural itu, ia terlebih dahulu menjelajahi seluruh ibukota.
Ketika gambaran utuh sudah benar-benar terbentuk di benaknya, ia mengunci diri dan mulai melukis—hingga lupa makan dan tidur—siang dan malam, dan selesai hanya dalam satu bulan.
Namun tenaga yang ia curahkan sangatlah besar.
Begitu selesai, ia sudah tak sanggup lagi menggenggam kuas. Kuas itu terlepas dari tangannya, bahkan ia muntah darah di tempat.

Pada hari pertama tahun berikutnya, kaisar mengadakan jamuan di Aula Yong’an yang baru selesai dibangun, untuk menjamu para negara bawahan dan utusan asing yang datang memberi penghormatan.

Ketika mural megah yang membentang di tiga dinding aula itu dibuka—semua yang hadir, termasuk para pejabat senior ibukota, tersentak dalam kekaguman—apalagi para tamu asing.

Menurut kesaksian mantan pelayan istana yang pernah menyaksikan pemandangan itu, mural tersebut tingginya lebih dari 30 kaki, dan panjangnya lebih dari 100 kaki, menutupi dinding timur, barat, dan utara aula istana.
Dari tanah sampai ke langit—terlihat seolah bukan karya manusia biasa.

Gambar itu terbagi dua bagian: dunia langit dan dunia fana.

Bagian langit berisi tujuh puluh dua kelompok dewa, masing-masing pada tempatnya, dikelilingi ratusan anak sorga, para pelayan gaib, bangau, bunga teratai, dan awan berliku-liku.
Para dewa tergambar begitu hidup. Jubah mereka seakan berkibar tertiup angin, seolah tengah memandang ke bawah—turun menaiki awan.

Bagian bawah menggambarkan pemandangan megah ibukota, dari barat hingga timur: gunung-gemunung, sungai-sungai meliuk, gerbang kota megah, istana menjulang, pasar yang ramai, hingga jalan-jalan penuh sesak oleh manusia.

Bagian atas dan bawah—kesatuan antara langit dan manusia—terbentang di hadapan mata seperti gulungan kitab surgawi.

Seandainya bukan karena melimpahnya sumber daya Kekaisaran Langit, bagaimana mungkin tercipta kemegahan sedahsyat ini—yang memancarkan cahaya menggetarkan jiwa?

Rasa takjub yang membanjiri hati membuat semua yang hadir serempak berlutut dan berseru:

“Hidup Paduka Kaisar!”

Para pangeran bawahan dan utusan negeri asing bahkan lebih terpukau lagi—tercengang oleh betapa kuat dan gemilangnya kekaisaran ini—dan terjatuh dalam sujud yang panjang.

Adegan itu, bertahun-tahun lamanya setelah kejadian, masih menjadi bahan perbincangan penuh kebanggaan di ibukota.

Lalu ketika ibukota hancur dan negeri dilanda kekacauan—semua itu tinggal kenangan.

Sayangnya, meski lukisan itu begitu terkenal dan dicintai kaisar sebelumnya, dan tak terhitung orang yang ingin melihat wujud aslinya—bagaimanapun kaca itu rapuh.

Istana Wansui terbakar dalam pemberontakan yang meruntuhkan kota, dan gulungan panjang yang merupakan darah dan jiwa Ye Zhongli pun musnah dalam api, seperti kilatan sekejap, lenyap tak berbekas di dunia ini.

Pei Xiaoyuan sebenarnya tidak begitu tertarik pada lukisan.
Ia bahkan belum lahir saat Ye Zhongli berada di puncak kejayaannya, namun namanya terlalu legendaris, jadi ia tentu tahu.

Setelah perayaan Tahun Baru, Ye Zhongli meninggalkan istana karena sakit dan menghilang seperti bangau kembali ke pegunungan.
Lalu pecahlah peristiwa mengerikan itu, nyawa manusia menjadi tak lebih berharga dari seekor semut.

Sejak itu, tidak ada lagi kabar darinya, orang-orang menduga ia pasti tewas dalam perang.

Namun meski ia telah tiada, lukisan agung yang seharusnya diwariskan sepanjang zaman itu hancur dalam perang—tetapi buku manual melukis yang ia tinggalkan tersebar luas, dan para pelukis rakyat memujanya seperti dewa.

Kini, puluhan tahun kemudian, ia dianggap sebagai sosok setara dewa.
Konon saat Ye Zhongli melukis naga, ia bisa memanggil awan dan kabut; saat ia melukis Buddha, ia bisa menerangi semua makhluk.

“Aku pernah dengar namanya. Ia pasti sudah tiada. Sungguh sayang.”

Pamannya memanggilnya terburu-buru untuk pulang, namun justru berbicara tentang seorang tokoh masa lalu yang tampaknya tak ada hubungannya dengannya.
Pei Xiaoyuan merasa heran.
Namun ia tidak memperlihatkannya.
Ia tahu masih ada lanjutan, jadi ia hanya menanggapi demikian.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page

Scroll to Top